Oleh: Hazmi Srondol
***
DUAARR!!!
BUG!!!
Suara ledakan terdengar keras, lalu potongan kaki terpental– putus mengenai badan Prabowo sang komandan.
“STOP!”, teriak Prabowo.
Semua pasukan hening berhenti, terdiam. Rahang mengeras, gigi geraham atas dan bawah seakan saling mengunci. Tak ada suara terengah dari hidung dan mulut. Semua menahan nafasnya.
“Kamu, tolong! Tolong angkat Martono!” Perintah Prabowo lagi kepada pasukan di belakangnya.
Pasukannya sempat terdiam beberapa detik. Kepalanya berfikir keras—sambil menatap tajam jejak-jejak kaki yang sudah terinjak komandan dan rekan-rekannya. Ia tidak tahu lagi dimana posisi ranjau lainnya berada.
Srek, srek, srek.
Perlahan penuh hati-hati, prajurit itu pun mengangkat rekannya yang terluka. Ditatapnya, lalu menoleh ke kanan kiri sebentar, lalu dipanggulnya untuk diselamatkan dan dibawa keluar dari tempatnya terkena ranjau.
Kemudian mereka-pun melanjutkan perjalanan. Mengikuti langkah dan jejak sang komandannya yang berjalan paling depan memimpin pasukan.
Semua berjalan hati-hati. Senyap. Seperti langkah kucing yang sedang berjalan dan hendak menyergap.
Saat itu, hanya terdengar suara gemerisik daun, ranting dan rerumputan di medan hutan Timor Leste ini. Sesekali terdengar suara kepak burung liar yang terbang terkaget melihat hadirnya pasukan yang sedang lewat.
1 menit.
2 menit.
3 menit.
DUAARRR!!!
Terdengar lagi ledakan di belakang Prabowo. Lebih keras. Janntung seluruh pasukan berdegub lebih kencang. Mata mereka mendadak berkaca-kaca. Berusaha keras membendung air mata yang hendak tumpah.
Ya, mereka melihat sendiri bagaimana kepala rekan seperjuangannya tampak mental dan menggelundung. Terpisah dari badannya akibat ledakan ranjau kedua.
***
Di dalam ruangan itu, Prabowo tampak sedang duduk berkumpul dengan para prajurit yang bersamanya saat bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Beberapa cangkir kopi yang khusus dibuat Prabowo tampak berwarna seperti kopi cappuccino, namun dari aromanya ternyata jauh berbeda. Seperti ada aroma cengkeh, kapulaga dan beberapa rempah lain yang hanya Prabowo sendiri tahu racikannya.
Beberapa potong singkong, ubi, jagung dan kacang rebus kesukaan Prabowo juga tampak terhidang di meja kayu tersebut. Tampak seperti kursi tua, namun masih terlihat terawat dengan pernis kayu yang memantulkan cahaya lampu ruangan berwarna kekuningan.
“Coba saudara-saudara ingat…”, kata Prabowo memulai pembicaraan.
“Saudara-saudara adalah saksi sejarah, kan? Saudara ikut dan ingat di medan itu, kan?”, tanya Prabowo.
“Iya, ingat pak”, jawab salah satu pasukannya.
“Oh, iya, pak. Ingat betul kita!”, sahut yang lainnya.
“Bagaimana itu bisa? Si Martono kakinya putus! Kemudian di belakangnya kepalanya yang putus!”, kata Prabowo dengan suara agak meninggi namun tercampur getaran kepedihan hatinya.
Semua terdiam. Hening.
“Anda ingat, tempat yang kepalanya putus adalah tempat yang saya injak, kan?”, tanya Prabowo lagi.
Dengan lirih mereka mengiyakan. Para pasukannya tahu betul bagaimana sang Komandan yang selalu berjalan paling depan. Dalam arti kata sebenarnya. Berjalan di depan pasukan dengan menenteng senapan serbunya dan diikuti pasukannya di belakang.
Bukan komandan yang model angon bebek. Berada paling belakang, dengan pasukan sebagai tameng hidupnya. Atau yang lebih parah, pasukan di medan perang—komandannya WFH (work from home) di belakang meja. Bukan, bukan seperti itu tipe komandan Prabowo.
“Apa artinya?”, tanya Prabowo lagi.
Mereka pun masih terdiam. Antara mengenang pertempuran di masa lalu dan siap mendengarkan lanjutan kalimat Prabowo yang tampak sedang menjeda nafas.
“Ya, saya—punya ajal belum datang. Tuhan masih mau saya hidup. Untuk apa? Artinya ada misi yang belum selesai. Saya harus menyelesaikan misi itu.”
***
“Wah, pantas pak Prabowo ketika pensiun dari tantara masih mau repot-repot bikin partai ya, pak?” kata salah satu bapak tetangga.
“Padahal sudah tajir melintir, ya. Kalau cuman mau hidup mewah ya pasti bisa”, celetuk salah satu bapak tetangga yang lain.
“Jadi ngerti saya kenapa pak Prabowo maju Pilpres terus. Ada misi yang belum selesai ternyata”
Saya hanya tersenyum.
Lalu mata menerawang jauh ke belakang saat dipanggil beliau di kediamannya di Padepokan Garuda Yaksa di Hambalang, Bogor.
Teringat jelas di kepala, secara langsung beliau mengajak untuk membantunya menuntaskan misinya. Misi menjadi Presiden untuk mengembalikan kejayaan Indonesia Raya.
“Jadi bapak-bapak sekalian, bersedia membantu saya untuk menuntaskan misi pak Prabowo?” tanya saya.
“SIAAAAP…!!!” jawab bapak-bapak tetangga. Kompak.
[Bekasi, 17 Juli 2023]