Entah beberapa kali saya menyampaikan, betapa sistem demokrasi “one man one vote” era sekarang akan sampai pada titik paling berbahaya. Yaitu: Demokrasi Biaya Tinggi.
Semakin hari semenjak dihapusnya sistem penunjukan kepala daerah oleh pejabat Presiden—baik gubernur atau bupati/walikota, angka-angka untuk merayu pemilih semakin luar biasa. Bahkan kadang kala tidak sebanding dengan gaji seorang bupati atau gubernur.
Bayangkan saja, saya pernah bertemu dengan salah satu peserta pilkada bupati di sebuah kabupaten kecil di Sulawesi Tenggara. Ia yang sedang berduka karena kekalahannya menyebutkan angka 30 miliar rupiah untuk biaya kampanyenya.
Jika dihitung dari jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) nya yang sekitar 93000, berarti biaya merayu pemilih per orang sekitar 325 ribu. Gilak!
Nah, jika dihubungkan dengan Provinsi Jawa Timur dengan jumlah DPT 29,75 juta maka jika memakai patokan dana merayu setara kabupaten kecil tersebut, berarti biaya yang harus di keluarkan adalah sekitar 9,7 trilyun rupiah!
Okelah jika dianggap terlalu fantastis, kita hitung saja biaya merayu per orang dengan segala perangkat kampanye dan saksinya adalah sekitar 50 ribu per-orang, maka biayanya pun tetap diantara 1,4 hingga 1,5 trilyun rupiah.
Lalu, bagaimana Prabowo Subianto memandang arah demokrasi yang sudah menjadi begini?
Tentu sedih dan prihatin. Bahkan secara “bloko suto”, gaya khas beliau berkomunikasi— tak sanggup Prabowo bertanya namun harus tetap dilakukannya, “kamu punya uang berapa?”.
Hal yang membuatnya sangat berduka ketika ada sosok calon bupati/gubernur yang dianggapnya berprestasi, intelektualnya mumpuni, kepemimpinannya cakap dan mempunyai massa dan popularitas tinggi namun akhirnya terbentur dalam hal dana kampanye. Dana yang tentu saja buat sang calon sendiri untuk membiayai pemenangannya.
Walau memang, terkadang Prabowo malah yang yang men- “traktir” biaya kampanye paslon jagoannya. Tentu saja pada daerah dan kejadian khusus. Contohnya saat pilkada provinsi DKI Jakarta 2017.
Disaat kompetitor sudah siap dengan dana sponsor trilyunan, Anies Baswedan ternyata yang hanya bermodal 800 juta rupiah dan Sandiaga Uno yang berdana 86 miliar. Sedangkan kampanye mereka, sedikitnya mesti mengeluarkan dana minimal 300 miliar rupiah untuk mengalahkan lawan yang dananya boleh dibilang tidak berseri ini.
So, sisa kekurangan 213 miliar dari mana?
Ya, tentu Prabowo-lah. Dengan koceknya sendiri tentunya.
Nah, yang menjadi masalah, apa iya Prabowo mesti men-traktir 171 paslon lain di hajatan pilkada serentak 2018?
Nah, tentu sangat menggelikan ketika La Nyalla meraung-raung dan menfitnah kesana kesini bahwa dirinya dipalak 170M dan 40M ketika gagal mendapatkan rekomendasi atau tiket maju pilkada gubernur Jawa Timur.
Padahal ia sekedar diminta menunjukan rekening kekuatan finansialnya. Sekali lagi “menunjukan”…! Bukan diminta!
Saya kok menjadi kasihan, kok ada ya manusia macam begini. Enggak ngerti, pura-pura tidak tahu atau memang bego jika biaya kampanye itu, khususnya di Jawa Timur sangat besar. Kalau dilihat dari hitung-hitunagn diatas sebelumnya, minimal 1,4 trilyun baru bisa disebut aman.
Padahal kurang apa teman-teman di DPP Gerindra memberi ruang untuk menggunakan hal politik pribadinya untuk mendapatkan rekomendasi maju pilkada. Ya tentu saja, hak ini tidak sendirian.
Ada banyak tokoh dan sosok-sosok lain. yang punya hak serupa untuk mendapatkan tiket maju pilkada Jawa Timur. Tinggal bagaimana menghitung kapasitas, kapabilitas, kualitas, popularitas, elektabilitas serta isi brangkasnya untuk membiayai dirinya sendiri.
Lha La Nyalla sebaiknya berkaca diri dahulu. Kapasitasnya apa sih selama ini untuk maju menjadi Pilgub Jawa Timur yang merupakan basis santri dan ulama ini? Hubungan dengan partai-partai lain bagaimana? Ada yang mau diajak koalisi nggak jika Gerindra memajukan nama dia di Jatim? Nggak ada tho?
Kualitasnya bagaimana? Saat saya mencoba mencari info prestasi La Nyalla, lha kok malah ketemunya hanya twitwar dengan netizen soal klaim prestasinya selama menjadi Ketum PSSI. Berantem ama bocah-bocah di twitter. Ngisin-isini.
Bahkan di era dia pula, PSSI sempat dibekukan karena lemahnya berkomunikasi dan lobby dengan pemerintah.
Trus, bagaimana kualitasnya? Popularitas dan elektabilitasnya? Hadeh, saya pernah coba riset reaksi anak muda terhadap Moreno Suprapto yang pernah digadang-gadang akan diajukan oleh Gerindra di Jawa Timur, Masya Allah, luar biasa sekali sambutannya oleh anak-anak muda yang sering disebut dengan Gen Y atau anak millenial ini. Kaget sekali saya.
Terbanding terbalik dengan reaksi anak millenial yang hampir dibilang acuh dan tidak perduli dengan sosok La Nyalla ini.
Padahal kelompok pemilih usia ini sangat vital dalam perebutan suara. Tim riset kami hitung, sedikitnya 59% pemilih kelompok ini di Jawa Timur. Atau sekitar 17,6 juta pemilih. Lha bahaya memang kalau Gerindra dan Prabowo memaksakan diri memberikan mandat ke La Nyalla untuk maju pilada Jatim. Bunuh diri!
Nah, terakhir— dengan minimnya Kapasitas, Kapabilitas, Kualitas, Popularitas dan Elektabilitas La Nyalla ini. Doi minta juga ditraktir Prabowo untuk biaya kampanye pilkada seperti halnya Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Anies dan Sandi?
“ELU SIAPE…!?”
[]