Oleh: Hazmi Srondol
“Siapa perempuan itu? Kok sampai bapak mau repot antar jemput begitu? Naik motor lagi? Sudah izin suami dia belum? Hati-hati, pak! Bisa jadi fitnah, loh. Setidaknya bisa jadi masalah kalau salah sangka atau kege-eran. Paham gak sih, pak?!” kata istri dengan wajah khas perempuan yang curiga serta waspada.
“Tenang, buk. Aman. Dia kawan bapak. Bapak hanya kasihan saja melihat dia ingin buktikan ikut turun ke TPS, tidak di sosmed saja. Visualnya aja cuman kek gitu. Yakin, gak bakal kenapa-kenapa. Aman amaaan!” jawab saya mencoba meyakinkan.
Istri sayapun melihat foto perempuan itu, lalu berguman “Iya, she’s very old-fashioned”.
Kemudian istriku menghela nafas, kesal namun tidak bisa berkata apa-apa jika suaminya sudah berkehendak.
Ya, saya memang saya akui—saya tidak berfikir sejauh itu. Saya hanya sekedar ingin membantu perempuan itu. Apalagi saat itu Pilkada DKI sedang mendekati klimaks-klimaksnya. Seru. Sayang tidak menjadi bagian dan saksi dari sejarah DKI. Kebetulan KTP saya bukan warga DKI namun berkerja di Jakarta, jadi ikut libur namun tidak memiliki hak pilih— sehingga ada waktu luang.
Apalagi keinginan dia untuk turun ke darat sepertinya serius. Bahkan ia menerima saja saat kartu ID pemantau Pilkada DKI dari sahabat saya yang kebetulan aktif di salah satu lembaga pengawas Pemilu, ternyata berada di lokasi yang terkenal gahar— sekitar Terminal Pulo Gadung.
Tidak mungkin saya diam saja ketika sahabat dan kawan saya berada di daerah tersebut. Sepertinya ini juga kali pertama ia turun ke darat di luar tempat tinggalnya sehari-harii. Sampai-sampai saya begadang menunggu info dari tim di lapangan yang mengecek situasi. Setelah mendapat kabar jika lokasinya aman-aman saja, tidak semenakutkan yang dibayangkan dan diceritakan orang. Saya pun lega.
Sekarang tinggal masalah izin. Sebenarnya saya paling males menanyakan hal yang sangat pribadi khususnya status pernikahan. Namun beberapa saat sebelum pencoblosan, alhamdulillah saya sudah mendapatkan infonya langsung darinya. Aman. Toh kini situasinya menjadi terbalik, yang penting malah izin dari istri saya.
“Bapak berangkat dulu, buk” kata saya pamitan.
“Hati-hati. Kalau hujan berhenti atau telepon ibuk buat jemput pakai mobil. Semoga Anies Sandi menang.” katanya waktu itu.
Alhamdulillah, jika tidak ngomel berarti izin keluar. Soal sinar matanya yang ragu-ragu, saya tidak terlalu fikirkan. Apa yang keluar dari mulutnya saja yang saya dengar.
Saya pun akhirnya bisa menjemput serta mengantarnya menuju beberapa TPS yang berada di sekitar Pulo Gadung. Sampai usai pencoblosan dan perhitungan pun saya masih menunggu sembari ngopi dengan petugas keamanan yang bertugas. Hingga acara benar-benar selesai dan ditutup— saya pun mengantarnya kembali ke tempat yang yang di tujunya.
Ya, ini bukan pertama kali saya bertemu perempuan itu— jauh sebelum era pilpres 2014 pun sudah pernah bertemu. Dia yang yang saya kenal, suka menulis opini di situs blog keroyokan. Saya jarang membaca terlalu detail. Selain memang tema yang sering ia tulis bukan yang saya sukai, pola dan cara menulisnya—bagi saya pribadi tidak nyaman untuk dibaca.
Saya hanya membaca sekilas dari judul dan cepat saja. Saat itu, saya hanya berfikir, “Kok orang ini kober (Jawa; sempat) betul membuat tulisan yang mengundang debat begini, ya? Apa nggak khawatir dan capek dimusuhi banyak orang?”.
Dugaan saya sepertinya benar. Banyak omongan miring dari sesama Kompasianer perihalnya. Namun, sisi baiknya— mungkin dari daya tahannya, oleh pihak pemilik situs malah diberi hadiah khusus.
Kemudian masuklah era Pilpres 2014, kebetulan dari beberapa blogger yang saya kenal, termasuk perempuan itu— tersirat dukungannya kepada Prabowo. Setelah saya pilah pilih, mereka saya tawarkan dan ajak untuk ke Hambalang untuk bertemu sekaligus mendengarkan apa pokok pikiran serta visi misi Prabowo secara langsung.
Saya berharap, mereka ketika tertarik menulis tentang Prabowo, bisa mendapatkan info dan data yang valid dan sesuai yang dimaksud. Tidak lebih dari itu.
Saya tidak mewajibkan menjadi kader Gerindra. Tidak pula saya sumpah untuk setia kepada Prabowo. Ini ranah politik dan demokrasi. Wilayah pemikiran dan hati. Bukan ranah perusahaan dimana mereka wajib mentaati saya jika seandainya mereka saya gaji. Tidak!
Hanya saja memang ada beberapa bonus, yaitu foto-foto dengan Prabowo secara privat. Bisa bebas berdua dengan beliau. Termasuk ia sendiri. Saya pula yang sarankan minta tanda tangan buku tulisan Prabowo agar fotograper yang saya siapkan bisa mendapatkan momen bagus saat Prabowo duduk bedua dengannya sambil menandatangai buku.
Firasat rasa, foto momen ini penting.
Benar, saat masuk era Pilpres 2019— situasi sosial media ternyata lebih panas. Kebetulan, saat itu saya sedang mendapatkan tugas baru dari Prabowo untuk merintis lahirnya TV baru. Energi dan waktu benar-benar habis untuk mempersiapkan sistem distribusi siaran serta kontennya. Saya tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk menulis. Saya hanya memantau secara umum saja. Termasuk tulisan-tulisan perempuan itu di era ini.
Tulisannya banyak diserang lawan politik. Bahkan mengancamnya. Saya ingat betul ia panik dan ketakutan. Dari telefon saya sampaikan, “Pasang foto Prabowo di Hambalang (2014) di akun facebook-mu. Kasih kode bahwa kamu dalam pengawasan saya!”.
Ya, ini resiko besar. Selain ia bukan kader Gerindra, hingga kemungkinannya sangat kecil meminta bantuan lewat jalur partai— saat itu saya tidak terlalu detail perihal konten mana yang membuatnya ketakutan dan terancam. Fikiran saya hanya satu, siapkan pembela/pengacara jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tak mengapa jika mesti dengan biaya sendiri. Toh saya juga yang saat itu mengajaknya ke Hambalang. Saya harus bertanggung jawab. Saya pun mengontak beberapa rekan pengacara untuk berjaga-jaga.
Sedangkan di ranah online dan sosial media, saya turut menggelorakan hastek #IstandWithPerempuanItu sebagai dukungan moril kepadanya.
Alhamdulillah, usai pasang foto tersebut— sepertinya ancaman mereda. Tak lagi saya terima telfon ketakutan dan kepanikannya perihal ancaman itu.
Hingga di lain waktu, pada kejadian yang berbeda— kembali ia mengerimkan pesan lewat whatsapp dan menelefon. Jika ia takut dan khawatir dengan pemasangan foto dia di poster Aksi Damai.
Kembali saya kontak beberapa rekan yang saya kenal di lembaga yang mengeluarkan poster ini. Alhamdulillah, setelah berbagai inputan datang silih berganti—tak lama foto yang ada perempuan itupun tercabut.
Saya sempat bertemu lagi setelah sekian lama Pilkada DKI usai. Saat itu saya mengundangnya ke kantor untuk berbagi perihal teknis algoritma di facebook dan mesin pencarian di google.
Kemudian kami juga bertemu lagi acara diselenggarakan di Hambalang, tepatnya di gedung baru Amphitheater. Kalau tidak salah di acara yang digagas mbak Nanik Deyang. Kaget juga ia sudah melangkah sejauh itu. Senang juga sebenarnya saat itu. Ia benar-benar mulai banyak turun ke darat.
Kebetulan, tak lama berselang dari pertemuan kembali itu— istriku memintaku untuk kembali memfasilitasi pendukung Prabowo ini. Kalau bisa, ia meminta bukan hanya kalangan partai atau blogger saja. Tapi emak-emak. Karena menurut istri saya, ia melihat gelagat pergerakan emak-emak ini lebih berani dan aktif dibanding era Pilpres 2014.
Saya pun berfikir keras. Bagaimana cara mengumpulkan emak-emak ini? Kalau mengundang dari PIRA (Perempuan Indonesia Raya), sayap partai Gerindra— ya soal cepat mengumpulkan massa pasti hanya masalah lima menit. Kirim surat permohonan dan telefon para pimpinannya juga langsung beres. Turun ribuan orang pun bisa.
Hanya saja, sesuai pesan istri— kalau bisa yang belum pernah bertemu Prabowo. Khususnya emak-emak di sosial media.
Sempat terbersit pemikiran untuk menunjuk dia saja sebagai koordinatornya, tapi mengingat respon istri saya yang sedikit negatif saat pilkada DKI terdahulu— saya pun membatalkan keinginan ini.
Kali ini saya meminta saran istri saya saja untuk memilih koordinator tim panitia emak-emak ini. Ternyata pilihannya pada salah satu emak yang sudah ia temui dan kenal. Khususnya saat istriku jalan-jalan di Yogya. Saya menurut saja dengan firasatnya.
“Kalau ada apa-apa dengan tim koordinatornya nanti, berkhianat atau membelot— pegang dia saja untuk bertanggung jawab” kata istri saya berpesan.
Berat sekali pesan yang berbau perintah ini.
Kemudian dari pelajaran sebelumnya perihal izin suami, saya pun ketika memintanya untuk membantu, baik acara pelatihan mau pun televisi sesuai porsi kegiatannya— saya tetap memintanya untuk meminta izin suami terlebih dahulu. Mengingat acara banyak di Jakarta dan tentu menguras biaya transportasi dan penginapan.
Setelah beberapa hari menunggu, barulah jawaban keluar. Suaminya mengizinkan dengan berbagai syarat. Termasuk syarat tentang batasan waktu per-minggu atau per-bulannya. Saya tidak mempermasalahkan dan memang kebutuhannya porsi kerjanya tidak harian.
Dari sisinya pun serupa. Tidak masalah, mengingat ia memang punya bisnis dan perusahaan sendiri— sudah rutinitasnya keliling Indonesia sehingga soal transportasi dan penginapan bukan hal yang sulit.
Ok, deal! Acara pun berlanjut.
Untuk tim panitia yang lain, saya serahkan kepadanya untuk memilih dan mensortir sendiri. Saat tim sudah terbentuk dan saya laporkan ke istri, ia pun tampak tertawa-tawa melihat link facebook dan foto beberapa koordinator acara satu persatu.
“Yang ini wajahnya galak. Yang itu baik. Yang ini gak tahu, tertutup cadar. Nah yang itu kayaknya polos bener….” dan komentar lain sebagainya.
Saya hanya tertawa saja. Saya fikir, sejauh itu semua berjalan baik dan lancar. Bahkan sepertinya menggemparkan. Ada dua sesi acara dengan tiap sesi sekitar 700-750 emak-emak yang hadir.
Pak Prabowo pun sepertinya sangat berkenan dengan acara ini. Sampai-sampai beliau berpidato lebih dari 2 jam. Hampir 3 jam sepertinya. Pidato Prabowo di hadapan emak-emak ini begitu meliuk-liuk. Antara membakar semangat, terbahak lucu hingga mendadak emak-emak menangis haru mendengarkan ceritanya. Gado-gado rasanya.
Pujian pun diberikan Prabowo saat berkumpul di rumah Kertanegara. Prabowo mengatakan, acara kami sangat tertib. Bahkan secara bercanda memberikan nilai khusus kepada para koordinator acara.
“Galak-galak koordinatornya, ya? Sampai ada yang dicubit tuh saat foto bersama” kata Prabowo.
Saya pun menjadi tertawa tergelak mengingat kejadian itu. Ternyata dalam diam dan cueknya, beliau sangat memperhatikan detail acara termasuk tingkah laku para panitia dengan. Kerudung warna biru dongker khasnya.
Menariknya, seorang mantan Danjen Kopassus yang sering dikesankan galak, malah memberikan nilai “galak” ke emak-emak koordinator acara. Berarti emak-emak Koordinator lebih galak daripada Prabowo, dong?
Pidato itu memang menguras waktu utama. Hingga materi pelatihan Citizen Video Jurnalis yang semestinya saya ajarkan, malah tersisa slot waktu 15-30 menit saja. Ya sudah tidak mengapa. Yang penting emak-emak bahagia, saya pun ikut bahagia.
Perihal rencana awal mencari video reportase kampanye dari emak-emak, biarlah batal. Secara teknis, saya masih bisa mencari lewat pembukaan lowongan reporter dan kontributor yang profesional saat itu.
Oh ya, pada salah satu acara pelatihan itu pula— saya sempat melihat kehadiran perempuan itu di salah satu bangku peserta. Saya pun memanggilnya, naik ke panggung. Maksud saya, saya ingin lebih memperkenalkanya dan agar tampak lebih menonjol di antara emak-emak yang hadir.
Saya ingin menunjukan bahwa saya dan perempuan itu sudah kenal lama dihadapan berbagai macam simpul komunitas emak-emak ini. Sekaligus menebus perasaan bersalah tidak melibatkannya dalam panitia acara.
Sayangnya, ketika kontestasi Pilpres 2019 selesai. Saya mendengar sedikit kabar yang tidak sedap perihal pandangan perempuan kepada saya. Salah satunya bahwa saya dianggapnya mengatur-atur tulisan dia di sosmed saat saya undang ke kantor agar sesuai kehendak partai (Gerindra).
Hah?!
Saat itu saya tidak terlalu menanggapi desas-desus itu. Saya rasa, itu wilayah subjektifnya. Saya tidak bisa memaksakan isi kepala dan pandangannya pula. Saya hanya perlu menjelaskan ke beberapa rekan yang bertanya bahwa tidak ada niat saya mengatur-aturnya sesuai kemauan partai gerindra. Saya hanya mencoba membantu menjelaskan sebenarnya pola kerja perang siber media itu seperti apa serta berhati-hati dalam menulis.
Ya, memang benar sosial media adalah wadah menyampaikan kebebasan ber-ekpresi. Namun tetap saja, ada batasan-batasan dalam kebebasan tersebut. Termasuk hukum KUHP, ITE serta nilai-nilai kebijaksanaan lokal— khususnya orang timur seperti kita, Indonesia.
Sepanjang itu penjelasan saya, ia bisa paham berarti bagus. Jikalau tidak paham juga tidak mengapa. Level intelektual dan wawasan orang kan memang berbeda-beda.
Saat itu, saya juga coba tawarkan apa yang bisa bantu untuk kegiatan menulisnya. Perempuan itu menyatakan, ia membutuhkan sejenis ID card pers untuk kemudahan akses peliputan acara kampanye. Saya pun menyanggupi. Mengingat kebetulan saya juga memimpin sebuah media mainstream sebagai pemimpin redaksi yang berhak mengeluarkan ID card, saat itu saya masih merasa percaya niat baik padanya.
“Umur saya sekarang berapa sih, om? Hidup saya bagaimana? Saya tidak mencari apa-apa di politik ini. Saya tulus kok, om. Tulus…” katanya.
Baik, saya masih percaya. Walaupun sempat istriku mengingatkan, “Jangan terlalu cepat percaya mulut perempuan yang bapak belum terlalu kenal. Banyak kejadian di belakangnya ngomongnya beda. Apalagi jika ada keinginan yang ingin dicapai kemudian bapak tidak mewujudkannya. Lihat saja gaya menulisnya yang (nyinyir) begitu. Bisa berbalik ke bapak!”.
Saat itu, saya hanya diam saja sambil ngedumel dalam hati, “ah, sok tahu”.
Kemudian sampai Pilpres 2019 punusai— perempuan itu belum/tidak muncul ke ruangan kantor untuk mengambil ID card yang dipesannya. Ya, sudah. Sepertinya saya tak perlu lagi menunggu-nunggu. Mungkin saat itu hanya sekedar basa basi saja. Tidak benar-benar butuh.
Hanya saja, serasa petir menggelegar di siang bolong.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Mendadak muncul tuduhan dari perempuan itu melalui akun facebook nya bernama “Fristi”. Nama yang sempat saya sarankan pakai jika kelak nama perempuan itu dalam pengawasan dan kemungkinan besar akan diserang RAS (Report as Spam) oleh tim siber lawan. Nama yang berasal dari nama boneka/tokoh imajiner keponakannya.
Dalam akun tersebut, ia menuduh panitia dari departemen saya menyebarkan data eKTP salah satu panitia/peserta pelatihan yang saya selenggarakan ke cebong. Akun yang saya tidak kenal dan tidak pernah sekali pun berinteraksi secara sengaja.
Dari tuduhan tersebut, akhirnya saya membuka semua file foto eKTP yang masuk saat proses sortir dan verifikasi peserta.
Ya, memang kami melakukan pengumpulan data itu, menginggat acara berada di sekitar kediaman Prabowo— nama akun facebook kadang berbeda dengan nama aslinya. Tentu sangat berbahaya jika masuk penyusup/intel yang bukannya ikut pelatihan, tetapi malah memantau lokasi atau acara. Apalagi dalam masa kampanye Pilpres yang masih ‘panas’ hawa politiknya.
Saya heran, apa ia tidak berfikir bahwa arah tuduhannya itu berbahaya. Saya dan panitia seakan diarahkan berhadapan dengan UU Perlindungan Data sekaligus ITE jika pemilik data eKTP atau yang pihak berwenang menuntut kami?
Sisi lain pun seperti memberikan cap atau label bahwa Partai Gerindra, khususnya departemen yang saya pimpin tidak amanah. Tidak mampu menjaga data eKTP yang terkumpul dan malah menyebarkan ke pihak lain tanpa izin. Ya, Allah…
Bayangkan, dua tahun penjara pidana kamu sodorkan ke kami jika kami terbukti benar menyebarkan/membagi foto eKTP kepada akun cebong tersebut.
Alhamdulillah, untung saja setelah mengecek file foto data eKTP yang ada di kami— jenis foto/file eKTP nya berbeda. Sudut pengambilan gambar, pencahayaan hingga bayangan ponsel yang muncul berbeda. Lebih detail tentu pihak Lembaga Digital Forensik yang bisa menjelaskan setelah hasil pengamatan dan ujinya selesai.
Namun, tetap saja kami cemas. Terbayang jika pemilik data atau pihak berwenang penasaran dan menuntut kami. Saya tidak membayangkan betapa repotnya emak-emak panitia kami harus diperiksa berjam-jam atau berhari-hari terkait tuduhan ini.
Jadi wajar kiranya saya mengirimkan pesan ke nomer fitur pesan facebook serta ke nomer whatsapp-nya yang selama ini saya kenal.
Saya hanya ingin menanyakan, siapa yang di maksud Panitia Hambalang ini? Saya dan tim atau yang lainnya? Kenapa tega menuduh seperti itu? Motifnya apa? Tujuannya apa? Apa kamu kecewa kami tidak memberimu panggung (peran) lebih?
Herannya, bukannya jawaban dan penjelasan yang saya terima. Bahkan ditambah tuduhan saya menghilangkan akun “Fristi” tersebut? Sampai melongo geleng-geleng kepala saat mendapat informasi seperti itu.
Buat apa? Apa keuntungan saya dengan hilangnya akun tersebut?
Jujur, saya merasa seperti ini seperti memberi air susu tetapi dibalas dengan air tuba. Tega sekali.
Niat baik, sikap baik dan bantuan yang selama ini saya coba berikan— ternyata dibalas tuduhan dan fitnah kejam seperti ini.
Mendadak kembali terngiang pertanyaan istri, “Siapa perempuan itu…?” dan ingin kembali ke masa lalu, kemudian menjawab, “Tidak tahu, buk. Bapak tidak mengenalnya dengan baik.”.
Serta berharap, saat dulu pamit mengantar perempuan keliling TPS Pulo Gadung — Istriku tegas melarang.
Karena ternyata firasatnya sebagai seorang istri, benar. []