“Bapak cari dong…!”
“Iya”
Sebenarnya ini sulit. Bagaimana mungkin mencari di mana bocah kesayangan emaknya yang satu ini di Kota Bekasi?
Ponselnya mati. Nomor telfon temannya pun tidak tahu. Walau feeling mengatakan, dia sedang perjalanan pulang— sepertinya kalimat itu sangat mustahil diterima bagi seorang ibu yang panik dan khawatir terhadap anaknya.
Ya, lima tahun yang lalu motor Vespa matic itu kami beli. Permintaan si Mas yang waktu itu masih kelas tiga SD. Saya juga tidak mengerti mengapa kami mau membelikannya. Jadilah motor ini hanya sekedar hiasan garasi saja. Bahkan saat ini, km motornya masih 3000km saja. Ban motor saja masih tebal tapak alurnya.
Saat itu, saya hanya mengatakan, “Nanti saat kamu sudah setinggi bapak, motor ini boleh kamu pakai”
Saya fikir, kata ‘setinggi bapak’ itu sekitar umur 16-17 an lah. Ternyata tidak, di kelas 7 ini— tinggi sudah sama dengan bapaknya. Bahkan secara motorik pun, ia sepertinya lebih baik dari bapaknya.
Contohnya saat ke Bromo lebaran kemarin. Dia yang baru sekali naik kuda sudah berani bawa sendiri. Bahkan sedikit info dari penyewa kuda cara menghela kuda— tak lama ia dan kuda sewa itu sudah diajaknya berlari. Sedang bapaknya? Melongo di atas kuda yang masih dituntun pemilik kudanya.
Atas dasar itulah saya percaya untuk menyerahkan kunci saat ia meminjam untuk berkunjunga ke kawannya. Sambil dipastikan jaketnya mampu melindunginya dari angin, serta helm dan kacamata lengkap dibawanya. SIM? Pinjem punya bapaknya. Hehehe.
Hanya saja memang, saya lupa bertanya— kapan pulang? Jam berapa? Siapa temannya? Nomer telponnya dan lain sebagainya. Tahu-tahu, sudah jam delapan malam dengan wajah panik ibunya.
***
Saya hanya duduk terbengong sambil merokok di depan Indomaret. Sudah bertanya ke satpam masjid yang biasa ia asyik nongkrong dengan teman SD-nya. Tidak ada tanda-tanda ia di sana sore ini.
“Kalau mas-nya nongol disini, saya kabarin, Bos” kata pakde satpam.
Hanya itu yang bisa saya dapatkan.
Sambil kebal-kebul dan menghela nafas, terlihat sepasang pasutri datang ke toko ini. Yang pria pakai peci dan istrinya memakai jilbab besar. Saya fikir mereka akan masuk untuk berbelanja.
Namun saya kaget, suaminya malah membuka tempat sampah dan mengorek-ngorek tempat sampah. Ya Allah, ternyata mereka pemulung. Secara reflek saya pun berdiri dan merogoh dompet.
Saya berikan selembar uang berwarna biru kepadanya. Saya hanya berharap hari ini cukuplah memulungnya. Segera pulang agar baju kokonya tidak kotor atau terkena najis.
Saya pun duduk kembali dan menyalakan sebatang kretek lagi. Melanjutkan kebengongan dan kebingungan ke arah mana saya mesti mencari bocah dengan casing 170 cm ini?
Sebats selesai, saya beranjak menuju mobil. Sambil berjalan, bapak pemulung itu menghampiri. Menyapa dan menyalami sambil mendoakan. Saya hanya bilang, “Saya lagi mencari anak saya. Tolong doakan ia selamat dan segera pulang. Ibunya nyariin”
“Amiiin…’
***
Ada empat jalur pilihan menuju Kota Bekasi dari perumahan saya. Satu jalur utama yang saya pilih tampak macet. Malas, langsung belokan ke kiri.
Lanjut di simpang satunya. Sepertinya lancar. Saat akan belok, mendadak motor Ojol memotong. Rem berdecit. Saya biarkan ia lewat dahulu. Akhirnya sata tidak jadi lewat simpang itu. Malas. Jalur sudah mulai tersusupi motor-motor lain.
Akhirnya saya pun masuk ke jalur ketiga. Jalan sekenanya saja. Asal ‘ngglinding’. Tidak tahu mesti bagaimana mencari bocah satu itu.
Sambil istigfar saya pun mem-bathin, “Oalah, Le, Thole. Dimana kamu? Embokmu nyariin. Pulanglah.”
***
“Bapak liat mas di jalan. Arah pulang. Bapak putar balik” kataku via WAG keluarga setelah sekitar 10 menit masuk jalur ketiga.
“Yakin dia pak?”
“Yakin”
Bagaimana tidak yakin? Motornya. Helmnya. Sampai stiker dan aksesorisnya sangat saya hapal. Lha, saya yang belikan?
***
Sampai rumah, terlihat mas meringkuk di kamar. Pura-pura tidur. Khas usai diomelin ibunya.
“Kemana aja tadi? Lama betul?” Tanya saya saat kupanggil ke meja makan.
“Ketiduran di rumah teman, Pak”
Oalah, Le.
Mulailah gantian bapaknya yang ceramah. Kali ini soal kedewasaan. Bapaknya bukan melarang anaknya bergaul. Tidak. Bergaul itu penting. Menambah cakrawala persahabatan itu wajib. Bapaknya hanya mengingatkan, belajarlah menjadi dewasa.
Bukan sekedar fisiknya yang seperti orang dewasa. Bukan sekedar bisa membedakan benar salah, namun yang utama— belajar memahami perasaan orang lain.
Perasaan ibunya yang bakal panik jika tidak ada kabar dari anaknya ketika pergi jauh dari rumah. Perasaan bapaknya yang terkena rembetan kepanikan ibunya. Perasaan adiknya yang mengulang-ulang pertanyaan, “Mas mana, buk? Buk… mas mana?”.
Kalau sudah dianggap cukup dewasa, jangankan motor. Mobil bapak ibumu pun boleh kamu pakai, selama untuk kegiatan yang positif.
Ia pun menunduk. Tak ada kata yang ia ucapkan. Semoga ia benar-benar mendengar dan disimpannya pesan bapaknya. Bukan di otak. Namun hatinya.
***
Kejadian ini membuat saya menjadi merenung sendiri. Bagi saya, ini ajaib.
Dengan uang segitu saja ke pemulung, Allah memberi balik “Menteri Perhubungan” yang mengatur arah jalan yang mesti saya pilih. Sekaligus “menkominfo” yang bisa mengirim pesan ke anak kami. Langsung ke hatinya.
Bayangin jika mesti meng-gaji menteri perhubungan dan menkominfo yang asli. Berapa duit kita mesti bayar?
Salam,
Hazmi Srondol