Oleh: Hazmi Srondol
Saya yakin, semua pasutri pasti punya kesepakatan sebelum memutuskan untuk berumah tangga. Demikian pula kami. Ada hal-hal yang sangat saya tidak sukai dan apa-apa yang sangat saya inginkan. Begitu pula sang pacar.
Sejak awal saya mengatakan, saya tidak suka berhutang kredit. Apalagi yang yang jelas-jelas memakai sistem riba. Sedangkan yang paling saya sukai, tentu saja saya suka sekali jalan-jalan dan makan. Sampai tersebut kata “Mas, pengen keliling Indonesia dan dunia.”
Tak banyak memang aturan yang saya buat. Yang sepele-sepele, saya tidak terlalu turut campur. Semua saya serahkan ke pasangan. Selama tidak menyangkut riba. Go ahead.
Cuman memang sih, dalam pelaksanaannya ternyata agak berat. Khususnya bagi perempuan. Mana tahan jika suaminya sangat keras soal pembelian asset. Lebih baik ngontrak dulu, baru ketika uang kumpul beli rumah cash. Kecil pun tidak mengapa. Lebih baik beli mobil second daripada baru tapi nyicil.
Bahkan pernah pula pengen beli motor matik, agak ribet urusannya ketika kita pengen bayar tunai. Ada saja alasannya buat gak terbayar kontan. Ya, memang akhirnya mesti fleksibel. setidaknya 80-90% DP nya. sisanya baru kredit agar salesnya dapat komisi. Anggap saja sedekah. Walau saat pulang sambil ngomel-ngomel panjang.
Belum lagi, memang dalam dunia perempuan, sepertinya jargon-jargon dari tetangga sangat menganggu dan berbenturan dengan rules suaminya. Beberapa kali istri dirumah mengutip kata-kata mama anu atau bunda ini sbb:
“Kalau gak kredit, pendapatan kita ngga ada jejaknya”
“Kan kredit buat pergaulan, tante”
“Orang itu harus berani hutang.”
Dan lain sebagainya. Berat memang sepertinya para istri ini.
Pernah loh, ya. Saya mendadak pulang kerja agak cepat dari biasanya. E, di rumah lagi kumpul para emak-emak. Sepertinya lagi ada penawaran set panci teflon. Mendadak kumpulan ini bubar. Sempat terdengar ucapan, “Ada om nya pulang. Buruan…”.
“Mau kredit ya, bu? Nggak mampu apa beli pancinya cash?!” kataku kesal saat rumah sudah sepi.
Dia pun tampak cengar cengir saja. Heran.
Dalam perjalanan waktu, entah kenapa istri bersikeras untuk ambil kredit rumah yang lebih besar dalam kompleks yang sama. Alasannya banyak lah. Malas saja saya sebutkan. Akhirnya, dengan salah satu alasan “anggap saja sewa ruko. toh rumahnya pinggir jalan. Bisa buat usaha, ibuk”.
Baiklah. Rumah pun diambil (kredit). Sepertinya memang inilah titik balik dari semua doa. Doa agar istriku paham apa bahaya riba. Bahaya yang azabnya dunia akherat.
Bayangkan, setelah berani berhutang. Terasa betul beberapa usaha istri mulai ambruk. Bahkan ada yang tak terlihat namun sangat terasa. Yaitu muncul kesulitan bersedekah.
Memang sih, kami tidak serta miskin. Tidak serta merta kelaparan. Hanya saja kok pendapatan masuk sekedar pas saja untuk kebutuhan pribadi dan keluarga. Egois sekali rasanya. Tak banyak lagi sisa buat dibagi ke tetangga yg kurang mampu atau majelis taklim.
Sering kali kusebut-sebut, “Ini efek riba, buk. RIba!”.
Beberapa tahun hal ini terjadi hingga pada suatu titik. Entah bagaimana Allah memeberinya hidayah, sambil dalam kendaraan istriku bilang, “Pak, maaf ya soal riba yang dulu. Ibuk dah paham sekarang. Dulu memang ibuk nggak ngerti kenapa bapak galak sekali soal ini.”
“Nggak papa, buk. Yang penting ibuk dan bapak sudah sepakat buat bebas riba. Kita data ulang apa-apa yang mesti kita ganti dan selesaikan. Data juga tetangga kita yang masih ada anak yatimnya. Berapa satpam, tukang ojek dan abang mandor disekitar komplek kita buat disedekahi”
Saya senang. Saya bahagia sekali. Walau mesti sabar bertahun-tahun untuk memberikan pemahaman.Toh kesabaran ini berbuah manis.
Dimulai dari membuang kartu kredit riba dan jikalau terpaksa mesti mempunyai kartu kredit karena urusan dunia blogging yang tetep harus punya, kartu kredit pun mesti yang syariah. Datang ke bank untuk bertanya sisa kredit rumah. Agak kaget juga ketika hendak melunasi kena denda. Hahaha… Biarin ajalah.
Beberapa hutang bisnis pribadi juga didata, setidaknya jika belum mampu lunasin dalam waktu dekat. Jangan sampai lupa dan segerakan kumpulkan dana untuk pelunasannya.
Dari sekedar niat ini saja, alhamdulillah satu persatu apa yang hilang kembali.
Usaha istri yang tutup mendapat ganti dengan keuntungan yang lebih besar. Saya pun mendadak banyak masuk job dengan angka yang sangat berlebih untuk diri sendiri. Hingga bisa memberangkatkan umrah beberapa anggota keluarga besar yang sudah sepuh dan belum mampu.
Bahkan, bukan maksud riya’– alhamdulillah, kemampuan sedekah ini mulai kembali. Bahkan istrilah yang paling semangat mengingatkan.
“Cucu nenek belakang sudah, pak? Mesjid sudah? Anaknya mbok cuci sudah? Si anu sudah? Satpam sudah? Bang Ojek kemaren kesini, dah diberesin? Pak Anu yang sakit dah didatangi? Dan lain sebagainya….”
Gimana gak bahagia coba kalau sudah begini?
Bahkan semalam, jiwa ini serasa melambung ketika mendadak istri pun bilang, “Kalau semua hutang dan riba beres, bapak beli gih 4WD-nya. Ambil segera pensiun dini. Jadwalin jalan-jalan keliling Indonesia dan dunianya. Katanya mau jadi kayak Ibnu Batutah? Bikin vlog dan tulisan yang keren ya, pak…”
Ya Allah, buk. I love u….
[HS]